Cinta Diam - Diam - Cerpen

Seperti kebelet kentut, apabila ditahan akan menimbulkan sakit perut tapi apabila dilepaskan akan menimbulkan keributan di sekitar kita. Pasti, jika kentut tidak bersuara akan menimbulkan aroma alakajam, dan jika tidak beraroma akan lebih gaduh karena suaranya. Seperti itulah cinta apabila ditahan, dipendam sendirian, mengaggumi dari kejauhan. Hanya cinta secara diam–diam yang membuat kita sakit. Sakit melihat seseorang yang kita cinta bersama orang lain, ketika orang yang kita cinta tidak melihat kita. Orang yang kita perhatikan tapi ia tak sadar. Orang yang ingin kita miliki tapi ia sebaliknya, bahkan orang yang kita sangat kenal tidak mengenal kita. Dan apabila diungkapkan akan menimbulkan kegaduhan antara kita dan teman-teman yang mulutnya bocor alus, dan rasa tidak nyaman jika seseorang cinta diam-diam kita mengetahui dari orang lain. Di saat seperti ini kadang pilihan sangat sulit ketika tanpa sengaja kita bertemu pada cinta diam-diam kita.

Cinta diam-diam memaksa kita untuk menyimpan rahasia-rahasia yang indah, bahagia, menyenangkan hinggga hal yang sedih, sakit, dan kecewa sendiri. Kita membuat batas ruang gerak, membatasi kata – kata yang kita ucapkan terhadap orang yang kita cintai secara diam-diam. Kadang banyak hal yang mestinya kita lakukan ketika suatu kesempatan datang pada kita, misalkan pertanyaan seorang teman kepada kita tentang siapa seorang yang sedang kita sukai, atau berbagai pertanyaan kecil dan ringan misalkan, siapa orang yang paling mengaggumkan dalam hidup kita. Tapi seorang yang cinta diam-diam seperti cinta dalam hati, cinta sendiri, cinta terpendam yang kadang susah untuk dikatakan, susah untuk diungkapkan. Kita hanya bisa melihatnya dengan hati. Menatapnya dengan perasaan.

Sama seperti Reza, sahabat satu kamarku yang menganut cinta diam-diam pada sahabat satu kelasku, Rianti. Sama seperti aku cinta diam-diam pada Resha. Setiap pelajaran umum, Reza selalu masuk dalam kelasku. Tidak kenal itu pagi, sore, bahkan malam. Bukan tidak ada yang tahu siapa Reza hingga bisa leluasa keluar masuk kelas kami. Bahkan guru-guru pun sudah maklum padanya. Siswa angkatan lama yang tak kunjung lulus UN. Senjata yang menjadi alasan satu-satunya adalah; ia tidak ingin cepat-cepat lulus dengan pengetahuan yang cetek. Ia mengatakan bahwa ilmu apapun harus kita dapatkan. Tapi ucapan itu tidak sesuai dengan dirinya yang masih saja bodoh. Bodoh untuk mengungkapkan cinta diam-diamnya, yaitu Rianti.

Reza selalu masuk lima menit lebih awal dari jadwal kelas kami. Tujuannya agar ia leluasa melihat ketika Rianti masuk. Karena ketika itulah pandangan Reza terhadap Rianti tidak terhalang oleh apapun. Reza selalu memilih duduk di satu kursi lebih ke belakang dari Rianti dengan sudut pandang tiga puluh derajat ke samping, entah itu kanan atau kiri. Tujuannya agar bisa leluasa melihat Rianti. Cara ini telah Reza analisis dan teliti sebelumnya. Katanya sudut tiga puluh derajat adalah sudut lengkungan bentuk hati yang saling melengkung antara sudut atas dan bawah. Inilah penyakit seseorang yang sedang mengalami cinta diam-diam. Semua hal yang tidak ada korelasinya dipaksa berhubungan. Bahkan ketika Reza menenggak kecap asin dalam botol Coca-cola lantaran kalah taruhan bola, menurutnya akan manis jika meminumnya sambil melihat Rianti.

Bukan itu saja, orang yang cinta diam-diam akan menjadi lebih ingin tahu dari sebelumnya, lebih cerdik seratus kali lipat, lebih kuat seribu kali lipat tapi tentunya jika itu dihadapkan kepada cinta diam-diamnya. Ia tahu jika hari senin Rianti membawa bekal dan memakan bekalnya di bawah pohon di samping lab imformatika. Reza tahu warna kesukaan gadis itu adalah merah. Cowok itu juga tahu jika Sabtu ia berkumpul dengan komunitas seni untuk melukis, selalu pergi ke toko buku Minggu sore dan menghabisakan waktu malamnya dengan membaca. Akhirnya, Reza juga tahu kalau Rianti tidak tahu bahwa dirinya mencintai Rianti diam-diam. Semua yang terjadi akan sama. Tidak jauh berbeda dengan cinta diam-diam yang lain, seperti halnya cinta diam-diam ku. Yang membedakan hanyalah waktu.

Aku tahu Esha adalah panggilan rumah Resha. Aku juga tahu Resha suka Endah dan Resha. Aku tahu Resha lebih suka membaca buku dari pada nonton, aku tahu setiap minggu Resha jogging bersama keluarganya di Gasibu. Aku juga tahu warna kesukaannya adalah biru langit, aku  tahu Resha suka semua yang berbau coklat. Dan aku juga tahu, klaua Resha tidak tahu bahwa ia adalah cinta diam-diamku.

Dibanding Reza yang bodoh, aku lebih bodoh dalam hal ini. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh ketika Resha duduk menikmati novel-novel heroiknya. Aku cukup tahu bahwa Resha mengambil jurusan D-3 Kesehatan Keluarga. Dan aku hanya tetap bisa melihatnya dari timeline facebook dan twiter. Sedangkan Resha sebentar lagi akan menyelesaikan kuliahnya dan melanjutkan S-1-nya di tempat lain.

Satu hal yang perlu dimiliki seorang yang menganut cinta diam-diam adalah keberanian untuk menatap langsung cinta diam-diamnya. Ketika cinta diam-diam kita juga sedang menatap kita. Entah itu dilakukan tidak sengaja. tapi yang lebih baik adalah dilakukan dengan sengaja. Hal itu sengaja dilakukan Reza terhadap Rianti. Reza mencoba adegan yang sering terjadi di film-film yaitu tabrakan. Katanya tabrakan yang berakhir dengan saling tatap akan menimbulkan kontak batin di hati masing-masing. Mendengar Reza mengatakan itu, aku ingin menabrakan diri ke mobil yang lagi ngebut dua ratus kilo meter perjam.

Rencana busuk Reza telah tertata sedemikian rupa. Jadi begini, Reza menerangkan rencananya seperti akan melakukan jihad ngebom gedung putih.
“Gue akan pura-pura keluar ketika Rianti masuk. Otomatis; brak!! Gue akan menatap dia…” Belum selesai Reza bercerita sambil menunjukan ekspresi bahagia yang lebih tepat disebut ekspresi mesum itu, aku memotongnya.
“Dan Elu ditabok sama dia!”

Benar, semua itu terjadi dengan awal backsound You and I-nya Endah and Resha dan berakhir dengan backsound yang acak kadut yaitu bukan reflek tatapan yang didapat oleh Reza melainkan reflek tamparan Rianti mendarat tepat ke wajah Reza. Lantaran saat itu Rianti sedang susah payah masuk dengan membawa kanvas, cat-cat dan kuasnya. Tapi bukan cinta namanya jika tamparan saja menjadi alasan untuk tidak terus mencintai. Dan hanya cinta yang mengartikan sebuah tamparan adalah bentuk rasa perhatian. Kata Reza itulah awal dari berakhirnya cinta diam-diamnya.
“Itu tandanya dia perhatian ke Gue.”
 Dalam hatiku: Tamparan itu tanda kesel, begoooo!!!

Sejak kejadian itu leher Rianti jadi keram jika kebetualan berpapasan dengan Reza. Pandangannya selalu lurus ke depan. Dan sejak itu pula Reza tidak masuk ke kelasku karena  ingin segera meluluskan diri. Satu tahun mendekati Rianti dan lulus bersama Rianti, itu tujuannya. Dia mulai fokus terhadap pelajaran dan hanya sekali-kali melihat gadis itu dari jauh. Dan hanya akulah satu-satunya jembatan di antara mereka.  Bedanya, hanya satu orang yang ingin menyeberang ke tepi di ujung jembatan. Yang lain tidak ingin menyeberang ke tepi  yang lain. Tapi ada yang perlu diketahui.  Cinta diam-diam Reza kini tahu. Dan kini judulnya adalah; Cinta saling diam. Itu aku ketahui dua tahun setelah kami lulus dari SMK yang sama. Tanpa kuketahui di akhir pengumuman, Reza memberikan sebuah mug untuk tradisi tukar barang kesayangan dari teman-teman satu kelas. Reza yang bukan kelasku beralasan bahwa dirinya sudah seperti keluarga sebab hampir saban hari masuk kelas kami. Cinta memang bisa memutus urat malu. Dan Rianti yang tidak menyiapkan barang untuk Reza, sebagai gantinya Reza meminta nomor handphone  Rianti.

Selain berbeda waktu antara Reza dan aku tentang cinta diam-diam kami, aku tidak seberani Reza. Tidak mempunyai rencana yang sebaik rencana Reza terhadap Rianti. Aku hanya lebih berani menyapanya di facebook. Me-retwet tweter-nya, tentu di twitter bukan di friendster. Kadang dalam hati seorang yang cinta diam-diam bertanya, apakah kita akan selalu seperti ini? mencintai tanpa tahu dicintai. Sampai kapankah ini terjadi dan apa manfaatnya semua ini? Ketika kita dalam pikiran ini, pikiran lain pun akan muncul seperti bisikan jahat, seperti kenapa harus mengungkapkan kalau diam-diam itu lebih menyenangkan, kalau dia dan semua orang tahu, tentu kita tidak bisa lebih dekat dengannya. Kita tidak leluasa seperti biasa. Orang-orang di sekitar kita akan mengoceh banyak hal tentang cinta kita dan yang lebih sakit jika kita ditolak. Itu yang selalu menghantui orang yang cinta diam-diam. Kata penolakan adalah akhir dari sebuah usaha yang selama ini kita coba bangun perlahan dan runtuh sebelum bangunan itu jadi.

Tapi saat ini yang perlu kulakukan adalah langkah kecil untuk meyakinkan apa benar cinta diam-diam yang selama ini kuperhatikan, sama seperti yang kita ketahui. Lebih suka membaca novel heroik dari novel cinta, lebih suka kucing ketimbang anjing, lebih memilih jogging bersama keluarga dibanding shoping. Chating dengannyanya adalah rencana yang selalu terbayang dan aku mencoba memberanikan diri untuk melanjutkannya. Berbicara tanpa suara, hanya lewat tulisan berekspresi tanpa rasa. Hanya lewat emoticon yang semangkin lama dipandang seperti ‘si kuning mengambang’. Apa penemu emotion membayangkan ‘si kuning’ ketika membuatnya.

Dengan itu, aku tahu lebih banyak darinya bahkan Resha bercerita tentang hal-hal kecil  yang orang lain belum mengetahui. Ia lebih terlihat terbuka dari sifat aslinya. Ia terlihat lebih menerima dari aslinya. Namun seorang cinta diam-diam tetap ada hal lain yang dipikirkan. Mungkin memang begitu sifat orang. Akan lebih terbuka pada orang asing dari orang yang telah dikenal. Itu dikatakan temanku yang mendalami ilmu phisikologi. Memang benar, selain Resha belum pernah bertemu denganku secara langsung, ia juga belum tahu bahwa aku adalah salah satu dari mahasiswa di kampusnya.

Hal baru yang kutemukan, seorang cinta diam-diam akan lebih senang menjadi orang lain jika cinta diam - diamnya merasa membutuhkan dirinya yang lain dibanding dirinya sendiri.
 Reza dan Rianti.

Rianti melanjutkan ke perguruan tinggi setelah lulus SMK dan Reza memilih untuk kerja. Belajar membuatnya sakit kepala. Sedangkan aku seperti yang sekarang, memilih kuliah keluar pulau. Aku jadi jauh dari keduanya dan tidak banyak hal yang kuketahui. Yang biasa kulakukan jika ingin mengetahui kabar mereka adalah lewat facebook dan twitter. Aku memiliki hubungan keduanya. Dan sekarang Reza menjadi hal yang lebih berbeda dari sebelumnya. Mungkin dalam kerjaannya yang berhubungan dengan listrik, terkena setrum tegangan tinggi sehingga ia lebih berani untuk menghubungi Rianti lewat sms dan telephone dibanding dulu hanya lewat rindu. Mereka saling sms dan menelpon tapi tidak sekalipun bertemu dan menyatakan hal yang mereka rasa sesungguhnya. Mereka hanya bercerita padaku yang mempunyai cinta diam-diam dan kini dihadapkan pada cinta mereka yang saling diam.

“Reza memang orang yang sangat bodoh dalam hal mengungkapkan perasaannya. Kalau dulu ia sengaja menabrakmu di pintu kelas, mungkin esok kau akan ditabrak dengan mobil bak olehnya.” Kulanjutkan kalimatku pada Rianti, “Apa salahnya jika kau terlebih dahulu yang mengungkapkan.” Lagi-lagi Rianti mengeluarkan si kuning yang sedang melipat bibir. Bau sekali.

Sedangkan Reza masih memihak rasa takutnya. Takut jika semua nanti tak seperti yang Ia harapkan. Ia ingin tetap seperti ini. Dalam diam yang menenangkan, dari pada dalam keterbukaan yang saling diam dan bungkam. Dengan pernyataan itu, aku kini seperti tukang pos cinta yang harus mendengarkan kedua orang yang saling diam tentang cinta. Aku seperti rakit yang bolak-balik ke tepi demi mengirim perasaan. Bodohnya aku kenapa mau? Hal yang kulakukan terhadap mereka setelah aku merasa bodoh adalah mengatakan bahwa Reza menunggu  di taman kota pukul lima sore pada Rianti dan sebaliknya. Pada akhirnya kedua jari kanan-kiriku menjadi keram lantaran harus membalas pesan mereka bersamaan.

Tapi aku jadi mengerti cinta diam-diam atau cinta yang saling diam adalah hal yang perlu ada. Tidak ada yang salah terhadap keduanya. Yang perlu dimiliki adalah rasa keberanian untuk sekedar menyapa ‘hai’ pada seorang cinta diam-diam kita. Dan mungkin keberanian lebih untuk menanyakan nomor handphone-nya. Penolakan dan kekecewaan adalah hal yang memang perlu dipikirkan. Tapi apakah  akan tetap diam sampai kita tidak menemukan cinta diam-diam yang lain? Sedangkan cinta diam-diam kita sudah memiliki cinta yang lebih berani. Dan apakah dengan diam-diam seseorang tahu apa yang sedang orang lain pikirkan? Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi sebelum kita melakukannya. Lebih baik kecewa dengan penolakan dari pada kecewa dengan penasaran.

Ibaratkan cinta itu seperti kebelet kentut. Jika dilepaskan menjadi ribut di sekeliling kita dan apabila kita tahan akan menjadi penyakit. Kita memegang kendali penuh atas nasib kentut sialan yang merepotkan itu. Walau setelahnya tak tahu apa yang kita dapatkan. Mungkin emition senyum langsung dari wajah cinta diam-diam kita atau malah emotion ‘sikuning’  yang melipat bibir.
                                                                                                               

       Cimahi, 12 Maret 2014


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diagram Use Case Dan Use Case Description

Beberapa Website Keren Yang bisa Bikin Kita Cerdas

Apa itu SKPL Dan Kebutuhan Perangkat Lunak ?