Welcome To The Teacher
Sumpah gue lagi nggak ngadain
acara penyambutan untuk Guru gue. Apa lagi sambil nari saman atau nari piring, apa
lagi nari merak. Mending gue naik merak indosiar. Selain tarian gue yang kaya
ular kadut nahan kencing, gue juga
banyak pengalaman buruk sama guru-guru gue.
Inget banget waktu SD, pala gue
mau ditampol pakai pemukul kasti, pernah tangan gue abis ama rotan gegara gag
bisa nulis POHON. Gile gara-gara lima huruf. POHON. Lihat ni gue sekarang bisa
nulis; P-O-H-O-N, POHON, POOOWWWWHOOOWWWWN. POHON. Gue tambahin POHON MANGGA.
Nggak berakhir di SD, di SPM juga
gitu. Gue abis-abisan dikatain banci cuma gara-gara mau bantuin temen gue yang
banci beneran lupa bawa baju olahraga. Sekarang malah temen gue udah kawin
duluan. Punya anak pula. Beneran banci kayanya gue. SMA juga gitu, capek gue
habis dikatain nggak mandi ama guru yang kalau ngomong bisa ular dering keluar-keluar
dari mulutnya.
Nggak tahu berapa halaman buku
yang harus gue tulis untuk hukuman yang udah dikasih ama guru-guru gue ketika
jaman sekolah dulu. Yang jelas gue nggak akan lupa itu semua.
Gue inget banget waktu jaman gue
di SMK dulu. Gara-gara nggak ngumpuli tugas kami semua hampir satu kelas nggak
dianggap ama guru matematika. Sambil nari kami, menyatukan suara “sebagai sang
murid yang tak dianggap buat ku hanya bisa mencoba bertahan…” (Armadah, kekasih
tak dianggap). Dan tahu nggak waktu itu, sebulan lagi kami harus ngadepin UN
yang horornya ngalahin Suzana lagi makan sate. Waktu itu gue berdoa tu guru
putus ama pacarnya.
Tapi itu bertahun tahun lalu. Dan
satu tahun kemarin semuanya berubah semenjak negara api menyerang. Semenjak naruto
jadi kepala desa, semenjak Revalina nikah. Hancur, hancur hatiku ..(Hancur
hatiku Alm. Olga).
Dan sebelum gue lanjuti tulisan
yang nggak penting ini, gue mau teriak untuk merayakan satu tahun gue jadi GURU.
Yang dulu profesi paling gue nggak suka. “WELCOME TO THE TEACHER HAHAHAHA”. “Woy
jam beraa sekarang, anying.. !!!”
(biasa tetangga gue suka nanya jam kalau tengah malem gini).
Satu tahun udah gue jadi Guru,
berada diposisi orang-orang yang dulu gue nggak suka. Gue ulangi lagi. Saatuu taahunn.
Satu tahun, setara dengan 12
bualan, 48 minggu, 360 hari, 24 jam. Kalau gue main warnet, harga satu jamnya
2000, udah berapa klik kanan, klik kiri yang bisa gue hasilkan. Bodoh amat.
Yang jelas satu tahun ini menjadi pelajaran buat gue. Betapa menyesalnya gue
terhadap guru gue. Kalau tahu jadi guru seperti ini gue pasti bakal lebih
brutal.
Padahal cita-cita gue dulu jadi
super hero, perpaduan antara Invisible Women + Superman, ngilang terus bisa
terbang. Hebatkan. Tapi sekarang malah jadi guru, ngurusi murid-murid yang
tingkahnya kaya gasing. Muter-muter. Ngurusin murid yang kalau ngomong kaya
irisan bawang, pedih. Yang kalau jawab pertanyaan itu pakai antonim; iya =
nggak, nggak = iya.
Gue lagi nerangi materi tentang subneting dan
IP address. “Subnetting adalah bla…bla..bla… IP address adalah .. bla…bla…bla…”.
Pas diakhir materi, gue tanyain “apa semuanya udah ngerti ?”, mereka bilang “iya
pak, ngerti”. “Ada pertanyaan ??”, “nggak pak”. Dan saat itu senyum sinis ala
sinetron gue muncul, berbareng dengan latihan soal yang udah gue siapi
semaleman suntuk. Dan hasilnya NOL. Gue murka “DIMANA LETAK KEJUJURAN !!!”.
“katanya iya, ngerti, kok
jawababannya nggak ada yang bener !!?”
“abisnya soal yang bapak kasih
beda sama yang dicatatan”.
“ya kalau sama itu bukan soal
namanya ujaaannng !!!!”. Dalam hati gue berteriak: Tirex mana tirex, ni murid
gue minta diganyang.
Apalagi kalau ngurusi murid yang
bolos.
“kamu kemarin boloskan ?” dengan
nada selembut kapas, tatapan sesejuk samudra lepas.
“nggak kok pa ?”. Garuk pala.
“jujur aja ?” masih lembut.
“nnggak pak…”
“terus yang kemarin saya lihat
nonggrong di warnet itu siapa !?” senyum ala sinetron.
“gag ada pak, mungkin salah
lihat, mungkin hantu, atau kembaran saya…”. Panik.
“oh gitu ya..!!!” Ngasah kuku
tirex.
Ya, semuanya jadi kebalikan, gue
yang jadi guru dan menghadapi murid-murid yang kalau beralasan ngalahin koruptor
lagi disidang.
Pernah gue berharap selama satu
tahun ini adalah hari kebalikan kaya di bikini buttom, spongboob jadi baik, dan
gue jadi ganteng. Tapi semua hanya mimpi.
Kaya baru kemarin gue ngatain
radio rusak untuk guru bahasa nggris, juluki guru dengan nama tatkala, cuma
karena kalau ngajar selalu ngeluarin kata-kata tatkala. Baru kemarin rasanya
gue dijemur ditengah panas matahari dan dipaksa push-up. Rasanya baru kemarin,
pedekate ama temen kelas.
Tapi sekarang, mungkin ada
julukan untuk diri gue, sekarang mungkin mereka; murid-murid gue menirukan cara
ngomong gue, cara ngajar, cara jalan, cara gue gambar alis. Dan satu tahun
inilah yang memantapkan bahwa guru memang sesuatu yang pas buat gue. Pahlawan
tanpa pamrih. Padahal faktanya pahlawan tanpa duit.
Gue menikmati banget satu tahun
ini sebagai guru. Walaupun kadang semangat itu seperti ayunan di taman, naik
turun. Tapi tanpa gue sadari merekalah, murid-murid gue yang menyemangati gue
untuk nyelesein Tugas Akhir. Secara
nggak langsung semangat mereka belajar ngebuat gue pengen cepet-cepet pakai
toga. Sebentar, gue ngelus toga dulu.
Kadang ketika musim pancaroba datang,
kesetabilan badan gue drop, gue paksain kesekolah untuk ngajar. Dan sim salabin
drop gue, demam gue, ilang. Gue nggak tahu apa yang terjadi, apakah karena gue
seneng kalau lihat anak-anak murid gue kebingungan ngerjain soal yang gue
kasih. Apa karena gue seneng ngehukum murid-murid gue yang gue sayangi itu,
terus gue sembuh. Dan sampai gue sadar ternyata yang buat sakit gue sembuh,
pusing gue ilang ketika menghadapi gasing-gasing masa depan itu adalah; obat
termanjur untuk kesehatan jiwa dan fisik adalah berbagi.
Jadi guru, nggak ngebuat diri gue
berubah, kecuali berubah jadi lebih baik. Sahabat gue dateng ke bandung. Kita
ngopi, gue tanya sama mereka; apa ada yang berubah dari diri gue. Mereka bilang
nggak ada kecuali nggak bisa disebutin satu-satu. Terus yang lain; rambut mu
udah nggak berantakan, bangunmu lebih pagi, dan paling penting udah sering
mandi.
Bener, sekarang gue lebih suka
pakai celana panjang, pakai kemeja panjang, rambut nggak panjang, gue potong
rapih, gue sisir pakai sisir (sebelumnya pakai jari aja gue nyisisrnya),
diminyakin, farfuman. Cuma gue masih bingung apa karena murid, gue berubah atau
karena gutik (guru cantik). Yang gutik cuma bercanda.
Pernah murid gue nanyain,
“pak kok sekarang rapian ya,
nggak kaya dulu, sekarang tambah kece…”
“jangan ngerayu saya, kamu tetep
remedial pelajaran saya”.
Ada juga murid gue yang ngeselin,
dia nanya “…bapak udah punya anak ?”.
Gue nggak jawab. Gue keluar kelas,
ke kamar mandi, kacaan, dalam hati teriak “setua apa muka gue…?!!!” sambil
garuk-garuk tembok. Terus gue balik lagi ke kelas. Dengan senyum yang
mengembang gue jawab “belum …”. Tu murid kurang ajar “udah berapa lama nikahnya
pak ?”. kelas kita bubarkan ya nak, bapak cari jodoh dulu.
Gue nulis ini bukan karna gue
banggain diri gue sebagai seorang yang berprofesi guru. Lagian guru bagi gue bukan
profesi, guru bagi gue hobi. Loe pasti tahukan salary guru honorer berapa. Kalau
nggak tahu tanya sama mentri pemuda dan olah raga sana.
Banyak diluar sana guru yang luar
biasa dedikasinya atas pendidikan negri ini. Merekalah yang tahu betapa lika
likunya kehidupan sebagai seorang pendidik. Gue, seorang yang baru kemarin sore
jadi guru, nggak ada seujung upil mereka. Guru-guru dipelosok negri yang luar
biasa. Apalagi bagi mereka-mereka yang makan bangku kulihan dibidang ilmu
pendidikan. Ah gue mah apa atu, Cuma sandal jepit yang tertukar.
Hanya aja gue membagikan sebagian
kecil dari besarnya kebahagiaan yang gue dapetin. Gue seneng banget pas jumpa
ama murid gue yang udah lulus.
Gue lagi jalan kaki, tiba-tiba ada
yang manggil gue.
“pak apa kabar ?” sungkem “ masih
inget sama saya pak ?”. Gue bengong.
“Devi pak, murid bapak dulu…”
“oh devi.. yang sering dandan di
kelas itu ya hehehe”
“bapak ma gitu..” ketawa malu.
“mau kemana dev ?”
“ini pak, baru pulang kerja…”
“oh udah kerja ya…”
“iya pak…alhamdulillah”
“alhamdullillah…”
Terus dia pergi, gue juga pergi.
Gue nggak tahu mau ngomong apa, gue senyum-senyum sendiri, entah bangga entah
sedih. Devi yang baru lulus kemarin, dari SMK udah dapet kerja yang gajihnya
UMR. Lah gue udah sarjana, kerjanya nyari kerja.
Sekarang selain sibuk manggang CV
yang nggak menarik, gue sibukin diri ngurus UJIKOM untuk dua sekolah tempat gue
ngajar. Dari pagi sampai sore kadang gue di sekolah untuk ngasih pemantapan
anak-anak gue demi menghadapi UJIKOM dan UN. Rasanya terharu banget waktu
mereka manggil gue dengan sebutan bapak dan nyium tangan gue. Tapi sekaligus
kesel juga kalau pas ketemu diluar sekolah mereka bersikap sama, sungkem,
manggil bapak. Gue masih 17 tahun nak, janganlah seperti itu. Panggil saja Abang.
Namun demikian tetap saja gue
nggak bisa mungkirin bahwa gue ya bapak mereka di sekolah dan gue juga harus
siap juga ketika diluar sekolah. Misalnya seperti curhatan-curhatan mereka yang
aneh-aneh.
“maaf pak ini rina, bapak lagi
sibuk nggak ?” sms masuk dari rina murid gue.
“tidak sibuk, ada apa ya ?”
“ada yang saya mau tanyain pa”
“oh ya, silakan”
“pak cowok saya itu, suka
poto-poto sama cewe lain, saya harus gemana pa”. lah ini pertanyaan apa. Apa hubungannya
antara system operasi dengan hati. Sebagai single sejati gue jawab;
“putusin aja. Biar nggak sakit
hati kamunya”. Selanjutnya tidak pernah rina minta saran ke gue lagi.
Sebelum ulisan ini tambah panjang
dan nggak bermanfaat. Dan gue yakin nggak ada juga yang baca sampai habis. Gue berharap
setelah gue dapat kerja yang cocok buat gue, untuk terus mengepulkan dapur. Gue
berharap gue masih bisa meneruskan hobi gue menjadi seorang guru.
“Didiklah seorang
lelaki maka kau tlah didik seorang manusia. Didiklah seorang perempuan maka kau
tlah didik satu negara"
Komentar