Sebagian diriku Dan Pindahan
Sebelum kata Move On jadi
trending topik dikalangan penggalau (termasuk gue), gue udah dikenali kata Hijrah
di agama gue sedari gue belum pinter ngelap ingus dan masih pipis di celana.
Artinya sama; Perpindahan atau pindah. Namun hijrah punya nilai history yang
luar biasa, dan gag perlu gue ceritain pasti kalian pada lebih tahu.
Karena itulah gue nggak takut
yang namanya pindahan. Baik pindah tempat, pindah kota, pindah kamar, atau
pindah hati. Gue nggak takut ketemu ama orang yang beda dari tempat tinggal gue
sebelumnya, gue nggak takut sama shock kultur yang aneh-aneh; kaya beda bahasa,
beda makanan, beda perasaan. Gue nggak takut semua itu yang gue takutkan kalau
Negara api menyerang.
Gue nggak takut karena gue sadar
semua orang pasti pindah, dan harus pindah. Sama kaya harus berubah lebih baik.
Pindah juga harus ke tempat yang lebih baik.
Pindahan yang sebenernya nggak penting adalah pindahan
masal ketika gue masih SMK dulu. Itu asli pindahan yang ekstrim.
Gue yang waktu itu tinggal ama
ibu angkat gue, kita harus pindahin barang tiga keluarga dalam satu pekan. Loe
harus tahu kawan, tiga keluarga ini bukan kaya keluarga gue yang barangnya cuma
rak piring ama tudung saji. Barangnya buanyaaaak banget, waktu itu gue berasa
jadi petugas pelabuhan, nuruni barang dari kapal, terus naikin barang ke kapal
lagi. Andai aja gue punya kenalan orang dalem di MARVEL, pasti nggak akan
secapek waktu itu.
Pindahan yang selanjutnya adalah
ketika gue selesai sekolah. Gue harus pindah dari rumah ibu angkat gue yang
masakannya super duper enak itu ke tempat kerja gue. Waktu itu gue kerja di
toko komputer juga warnet. Lebih singkat, cuma satu tahun. Tapi gue ngerasa,
itulah tempat gue sebenernya, gue udah nyaman dengan aktifitas main game dari
siang sampai petang, lanjut ngopi sampai tengah malam, lanjut hibernasi sampai
pagi.
Gue juga bebas ngejitakin anak
pecahan botol warnet yang kalau lagi ngegame mulutnya mengeluarkan kata-kata
kotor nan hina dina. Gue duduk di kursi operator berasa Julius Cesar. Gue bebas
ngatur orang berapa jam untuk main, jam berapa buka dan tutup warnet. Sampai suatu
waktu temen kerja gue nanya “sampai kapan kita kaya gini terus”. Malemnya gue
mikir lama ampe ketiduran. Dan beberapa minggu setelah itu, ada telpon yang
nyuruh gue untuk kuliah di Bandung.
Dan pindahan ke Bandunglah yang
paling mengesankan.
Dan bener kata abang angkat gue
kalau orang Bandung itu baik-baik, ramah-tamah. Gue baru bilang permisi udah
ditawari mangga. “permisi pak”, “mangga”.
Meski masih satu Indonesia tapi
banyak shock cultur yang gue alami. Dari segi bahasa; gue pernah dimintai
tolong ama temen gue untuk ambilin botol minum, tu temen bilang;
“tolong cokot botol minum ku…”
Terus gue yang ber-hah gitu,
sambil nunjuki muka asem gue. “asem ni
orang masa gue disuruh gigit botol” tentu gue ngomong dalem hati.
“oh sorry, maksud ku tolong
ambilkeun…”.
“bilang donk, dari tadi” sambil
salto.
Makanan juga, pertama gue kenal
warteg, gue nggak bisa bedain mana sayur lodeh,mana kolak. Manis banget sayur
lodehnya. Tapi yang gue heran itu kalau jajanan kaya kripik dibuat pedes
sepedes2nya. Tu kripik udah kaya MLM. Pakai level.
Pernah gue makan yang level
setan, asik sih, bisa gua tahan pedesnya. Tapi paginya ketika panggilan alam
menyapa, bokong gue panas. Gue yakin ini bukan ambeyen. Beneran. Ternyata letak
level kripik itu ketika gue ngeluarin, bukan ketika gua makan. Bukan kripik aja
yang dipedesin, es cream juga dipedesin, coklat juga dipedesin. Tapi mending,
dari pada dikacangi.
Masih buaaaanyaaaak hal-hal yang
beda antara tempat gue yang lama dan dibandung. Dan hal-hal itu, baik yang
besar maupun kecil, ngebuat gue belajar dan berubah. Gue mau nggak mau harus
tahu bahasa Dimana tempat baru gue tinggal. Dan pernah gue tanya ama temen gue taufik,
masalah bahasa. Gue sempet heran kata “teuing” itu artinya apa, karena selalu
diucapkan dengan kata keterangan yang berbeda.
“fik teuing artinya apa ?”
“nggak tau …”
Gue kira dia emang beneran nggak
tahu. Sampe gue kesel ama dia.
“fik gue tau mata loe sipit, tapi
loe sunda asli masa ngak tahu sih arti teuing”
“iyaaa is,, artinya nggak tahu…”
api naga keluar dari mulutnya.
Temen gue disebelah yang ngerasa
keganggu, dia ngejelasin, bahwa arti teuing itu bisa artinya “nggak tau” bisa
juga “banget”, tergantung dari keterangan. 3 sks mata kuliah algortima, berubah
jadi 3 sks bahasa sunda. Asik.
Sekarang jam tengah malem, gue
nge-packing barang-barang sambil nyempeti nulis yang nggak penting ini; tentang
diri gue dan pindahan, yang rasanya hidup gue nggak jauh-jauh dari yang namanya
perpindahan.
sama seperti kebanyakan pindahan,
gue harus ngepack barang-barang yang harus gue bawa ke tempat baru. Gue harus
milih barang mana yang harus dibawah dan barang mana yang tidak perlu dibawa. Tanpa
sadar keseringn pindah ngebuat skill packing gue meningkat. Lama-lama gedung
sate bisa gue masukin ke koper.
Gue bongkar semua barang
peradaban purbakala, gue berasa kaya arkeolog yang menemukan potongan tulang
kecoa hamil yang punah berabad-abad lalu. Disana ada barang yang mungkin dulu
barang itu adalah segalanya, tapi sekarang tu barang cuma sekedar sampah. Ada
juga yang mungkin dulu nggak berarti, tapi sekarang malah jadi primadona.
Bukan cuma pindah dari kostan ke
kostan yang lainnya, sekarang gue pindah dari namanya rutinitas perkuliahan ke
rutinitas pekerjaan (ya walaupun kerjaan gue nyari kerjaan sih).
Kalau dulu temen-temen kelas gue;
BUD4TI mungkin bisa bilang “kita sama-sama terus ya sampai nenek kakek”. Dan
semua mengiyakan dengan semangat satu kelas, tanpa terkecuali, kalaupun nggak
mungkin, semua terjawab dengan teknologi yang udah nggak bisa nilai jarak lagi.
Bisa skype, facebook, BBM, What’s Up, opo opo menehlah. Tapi sekarang tu group
fb yang rame kaya konser dangdut, sekarang sepi, bersawang.
Jarak memang nggak terbataskan
lagi ama teknologi, tapi waktu. Waktu masih sama dan nggak akan berubah. 24 jam
sehari. Sedangkan semua berpindah pada hal, dan dunia yang bau.
Perpindahan rutinitas, perubahan
profesi, tambahnya umur, ngebuat waktu itu semangkin jadi singat, menurut gue. Kalau
dulu ketika SD, untuk main ke kali nggak perlu atur jadwal, siang, sore, bahkan
malem. Asal udah bilang ‘ya’, ngak pakai aba2 kita langsung main, buka baju
buka celana, nyebur. Yang ditakutin cuma orang tua yang nunggu dipager rumah
sambil ngacungi keris empu gandring.
Tapi sekarang, jangankan main ke
kali, makan siang aja di schedule, mau reuni buka puasa bareng aja kaya mau
ngadahin nikahan masal. Tempat dimana, siapa aja, jam berapa. Ada yang lagi
diluar kota, ada yang didalem kota tapi nggak bisa, ada yang didalem kota, bisa,
tapi sibuk ama calon istrinya, ada yang bisa, didalem kota, nggak ada calon
istri atau suami, tapi ngggak ada uangnya. ada yang bisa, didalem kota, nggak
ada calon istri atau suami (copy paste) ada uangnya tapi nggak mau dateng, malu
ama yang lain udah pada punya pasangan (bukan gue yang pasti).
Dulu juga kalau denger dikampung
ada yang nikah, yang gue pikirin cuma, rame-rame, orkes dangdut, kuda lumping,
makanan everywhere. Tapi sekarang kalau ada temen yang nikah, atau dapet
undangan, jadi pengen ambil gitar terus teriaak “JODOH….DIMANA KAU,…..” (sudah
terlalu lama sendiri…sudah terlalu lama aku asik sendiri …lama taka da yang
menemani…).
Itulah pindahan menurut gue.
Mengemas barang-barang lama unuk ditinggal atau dibawa. Mengemas barang-barang
lama untuk meninggalkan dan bertemu. Mengemas barang-barang lama untuk
menguatkan apa yang telah didapet ditempat sebelumnya, dan mendapatkan hal yang
baru di tempat baru.
Semua pasti berubah, tapi gue
berharap berubah menjadi yang lebih baik. Sama kaya pindah hati, kgue harus
pndah ke hati yang lebih baik. Karena hati lebih dari sebuah rumah.
Udahan ah, nggak pindah-pindah
kalau nulis terus. sampai jumpa ditempat yang baru.
Komentar