Kisah Dalam Kopi
Kopi… kopi… biji hitam yang tidak pernah berhenti memberi kisah. Mulai dari Dee dengan melambangkan kau sebagai kesempurnaan yang tidak akan pernah ada dan Andrea Hirata yang melalui kau menjadikan perantara cinta dalam gelas.
Gue suka kopi. Bagi gue kopi seperti
teman yang menghangatkan ketika hujan, menyejukan ketika panas. Dia dapat manis
ketika hidup gue pahit, dan dia juga menegur gue melalui pahitnya ketika hidup
gue terlalu manis. Dia ‘kopi’ juga bagi gue melambangkan sebuah filosofi, membawa gue ke
masa depan dan mengingatkan gue akan kenangan. Kopi memberi arti sebuah
kebiasaan dan proses usaha bagi gue. Dan kopi memberi gambaran kisah dan cerita
bagi gue.
Gue kenal kopi belum lama,
semenjak gue lulus dari sma. Waktu itu gue kerja sebagai operator warnet
dimalam hari dan tukang service(Komputer) disiang hari. Pekerjaan gue sedikit
mengambil andil atas perkenalan gue dengan kopi, hanya sedikit. Temen-temen
kerja gue lah yang mengambil andil besar atas kecintaan gue terhadap kopi. Ditambah
lagi, bagi orang-orang di kampung gue kopi sudah menjadi sebuah starter untuk
penyemangat rutinitas dan juga sebagai penenang diakhir aktifitas.
Di kampung gue tempat perkumpulan
yang paling favorit adalah warung kopi. Tidak ada mall yang besar, taman yang
menarik (mungkin sekarang sudah ada) hanya warung kopi. Tua, muda semua
berkumpul di warung kopi. hubungan bisnis hingga cinta semua bermuara di
segelas kopi sebagai perantara.
Bukan seperti coffee shoop yang
elit seperti sturbucks, coffe bean atau yang lainnya. Tidak ada sebutan barista
di sana, tidak ada alat-alat canggih untuk mengolah si biji pahit itu. Hanya
dengan saringan yang terbuat dari kain panjang, dan wadah kaleng untuk
menampungnya. Semua tradisional. Tapi itulah yang membuat rasanya unik.
Membutuhkan teknik tarikan yang tidak gampang untuk menghasilkan kopi yang
memiliki rasa tiada tara. Mungkin orang-orang menyebutnya kopi tarik.
Di aceh, kampung gue. nggak
sussah menemukan warung kopi, jaraknya hanya berkisar lima puluh meter saja setiap warung kopinya.
Jadi hanya berjalan kaki saja kita sudah menemukan warung kopi. Dan kawan
jangan bayangkan pulah warung kopi disana memeiliki desain interior yang keren
dan modern (ya mungkin sekarang sudah mulai berubah, sudah banyak yang memiliki
konsep sendiri untuk warung kopinya. Ini karena permintaan yang semangkin
bertambah dan penikmat kopi disana semangkin memiliki selera). Namun masih ada yang mempertahankan konsep
lama. Dengan meja yang hanya berjarak satu meter saja. Dengan mengabaikan
privesi setiap mejanya. Namun siapa yang peduli dengan pembicaraan meja
sebelah. Namun kadang dengan meja berdekatan itu yang menjalin kedekatan antara
penikmat kopi. tak lantas menjadi terganggu, malah semangkin membuat kelompok
baru dan membuat obrolan baru.
Sebelum gue kenal kopi dan
istilah ngopi gue, biasanya minum susu dan istilahnya adalah nyusu. Tapi
perlahan berubah, dari segelas susu, gue mencoba bereksperiment meminta susu
kopi hingga kopi susu. Gue tertarik karena temen-temen gue semua meminum kopi
hitam tanpa gula.
Hampir setiap malam gue dan temen-temen
gue ngopi sampai akhirnya gue juga memesan kopi tanpa gula. Tapi tidak langsung
serta merta membuat ku terbiasa akan pahitnya rasa si hitam itu. Terlebih
dahulu setelah kopi susu, gue beralih ke kopi ‘sanger’. Kopi racikan asli dari
aceh.
Sanger jika dilihat sekilas tidak
berbeda dengan kopi susu, hanya saja komposisi susu yang sedikit, gula yang
hanya seujung sendok the dan tentu saja kopi kental yang sudah ‘tarik’ berulang
kali di campurkan dalam satu gelas dan menghasilkan bui kasar. Hamper sama dengan
the tarik.
Lama gue menikmati setiap pesanan
sanger, lantas tidak membuat gue bosan. Hanya saja ada sesuatu yang menarik gue
untuk mencoba kopi tanpa gula seperti temen-temen gue. Yatu pertama ketika gue
kepahitan ngerasain kopi temen gue. Gue nunjukin ekspresi yang gue sendiri juga
nggak tahu kenapa. Dan seketika itu salah sau temen gue bilang ke gue ‘itu sih
nggak seberapa pahit…ada yang lebih pahit dari pada kopi itu…’ gue hanya
ber-haaah heran‘ daam hati ‘memang banyak yang lebih pahit’ empedu dan
sebagainya, tapi apa yang dimaksud adalah sejenis kopi juga, itu yang gue nggak
tahu. Tapi gue nggak langsung meminta jawabannya karena diantara perkumpulan
ini, sebuah pertanyaan bukan menandakan kritis, tapi bego. Jadi gue nggak mau
dibilang bego.
Setelah itu pesenan gue berubah
dari sanger menjadi kopi tanpa gula. Gue jadi tahu ternyata penikmat kopi tanpa
gula itu bukan sekedar nikmati rasa pahit saja dari kopi dalam gelasnya, seperti gue pertama kali
mencoba meminumnya dan merasakan pahit ditenggorokan. Tapi lebih menikmati
prosesnya, dari pertama kopi dihidangkan diatas meja, menikmati harum aromanya,
menerka-nerka drajat suhunya, lalu menyeruput dengan lembut dan menikmati
rasa-rasa manis dibalik pahitya. Sampai ahirnya mereka menemukan susuatu yang
tersembunyi didalamnya yang berhubungan dengan kehidupan.
Sama halnya begitu juga menikmati
hidup. Melihat diri kita siapa, untuk apa kita dilahirkan, lalu berkaca sudah
baikkah selama ini dan sudah bermanfaatkah selama ini untuk orang lain. Lalu
kembalikan cerminan itu pada diri kita atas apa yang sudah terjadi dimasa lalu,
tentang hal baik dan tidak. Tentang harapan dan do’a. tentang diri kita yang
sama seperti kopi dalam gelas yang akan hilang dan selanjutnya gelas itu
digantikan oleh kopi yang lain. Lantas apakah kita menjadi kopi yang dikenang
karena kebaikan, atau keburukan, atau tidak sama sekali.
Dan sampai sekarang gue masih
menikmati kopi walau kadang sekedar kopi sachet. Dan rasa suka gue nggak
berubah sama sekali terhadap kopi. apa lagi kopi gratis… nikmatnya tiga kali
berlipat-lipat…
Komentar